Ada sebuah pesan yang berbunyi “say the truth even if it may be bitter”, begitulah bunyi pesan sakral yang tersirat dari makna kalimat itu yang pernah disampaikan Rasulullah Muhammad Saw. Pesan tersebut barangkali bisa dikaitkan dengan permasalahan yang terjadi di negeri ini yang melibatkan para pemimpin di negeri ini. namun juga berlaku bagi semua manusia tanpa terkecuali. Yakni memberikan sebuah tuntunan pencerahan agar seorang Muslim termasuk siapapun untuk selalu bersikap jujur dalam setiap perkataannya, berani menegakkan kebenaran dan berani mengungkap segala bentuk kebohongan yang ada.
Secara fitrahnya bahwa manusia diciptakan bersih dan suci adanya untuk berbuat jujur sesuai makna dari firah itu. Seperti yang tersurat dalam Al Qur’an :
laha ma kasabat wa `alaiha ma iktasabat; (Q/2:286)
artinya, bahwa manusia akan memperoleh pahala atas perbuatan baik yang dikerjakan, dan memperoleh hukuman dari perbuatan buruk yang dilakukan.
Begitulah maknanya, bahwa manusia yang selalu konsisten untuk berlaku dan bertindak jujur, mengerjakan perbuatan kebaikan, maka secara psikologis segala aktifitas kehidupan ini ia akan melakukannya dengan nyaman, karena merupakan sebuah tuntunan kejujuran tadi dan tidak disertai oleh konflik batin. Namun jika kejujuran untuk tidak jujur, untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan bisikan hati nuraninya, maka manusia harus bersusah payah “berjuang” melawan nurani¬nya sendiri yang tidak mau diajak kompromi. Seseorang, ketika pertamakali melakukan kebohongan, maka ia berdebar-debar, bingung bahkan susah tidur karena terganggu oleh pikiran dan perasaan bagaimana harus meluruskan kebohongan yang sudah terlanjur dilakukan.
Untuk kebohongan kedua, gangguan itu semakin terasa berkurang, dan jika ia sudah menjadi pembohong “profesional ” maka baginya berbohong atau jujur tak ubahnya pekerjaan memasang kaset, dan dalam keadaan demikian, ia akan sulit melakukan introspeksi karena nuraninya bagaikan cermin yang retak-retak.
Kejujuran dan kebohongan bukan sesuatu yang berdiri sendiri tetapi berkaitan dengan keadaan sebelumnya dan membawa implikasi pada sesudahnya. Kebohongan dilakukan seseorang untuk berbagai tujuan; misalnya untuk memperoleh keuntungan materi secara tidak fair, untuk membuat kesal atau mencelakakan orang lain, dan adakalanya untuk menutupi kebohongan yang lain. Implikasi dari kebohongan juga berbeda- beda. Jika kebohongan itu pada hal yang bersifat informasi, implikasinya bisa menyesatkan atau mencelakakan orang lain. Jika kebohongannya pada janji, maka implikasinya pada mengecewakan atau merugikan orang lain. Jika kebohongannya pada sumpah maka implikasinya pada merugikan dan mencelakakan orang lain.
Selanjutnya Rasulullah bersabda; Sesunggguhnya kebohongan adalah satu diantara beberapa pintu kemunafikan, innal kizba babun min abwab an nifaq. Jadi orang yang melakukan kebohongan atau pendustaan berarti ia sedang berada dalam proses menjadi seorang munafik. Selanjutnya Rasulullah berkata bahwa, ada tiga tanda-tanda orang yang disebut munafik :
1. jika berkata, ia berdusta,
2. jika berjanji, ia ingkar dan
3. jika diberi amanah dan kepercayaan, ia berkhianat.
Seseorang jika sudah sering berbohong, apalagi jika sudah menjadi pembohong profesional, maka berkata benar merupakan sesuatu yang sangat berat baginya. Oleh karena itu Rasulullah SAW dalam sabdanya ;
Katakanlah yang benar meskipun pahit, Qul al haqqa walau kana murran.
Makna Hadist diatas inilah yang sering disalah interpretasikan sebagian orang, yakni serta merta dijadikan dasar untuk berani membongkar kesalahan pejabat di publik, padahal dengan bijak dan adil tentunya dengan rasa keadilan yang tinggi bahwa hadist berlaku kepada siapapun ia berani mengakui kesalahannya secara terbuka, meskipun berat.
Ada semacam interpretasi spiritualisme mengatakan bahwa jika kebohongan merupakan pintu kemunafikan, maka kejujuran merupakan pintu amanah. Kita ambil contoh, Rasulullah SAW memiliki kepribasian dengan sifat siddiq (benar dan jujur), maka sifat lain yang menyertainya adalah amanah (tanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (menyampaikan secara terbuka dan transparan apa yang mesti disampaikan). Kebalikannya, dusta (kizib) akan diiringi oleh sifat curang (khiyanah), bodoh, yakni melakukan perbuatan bodoh (jahil) dan menyembunyikan apa yang semestinya disampaikan secara terbuka (kitman).
Kita sebagai manusia disebut sebagai makhluk sosial. Dengan demikian manusia selalu diharapkan untuk selalu jujur dalam setiap apapun. Manifestasi dari seseorang yang selalu menanamkan kejujuran dalam dirinya, dengan sendirinya memberikan sebuah kekuatan lahir dan bathin dalam setiap aktifitas apapun yang dilakukan dalam kehidupannya. Sebaliknya jika kebohongan selalu menyelimuti diri kita dalam setiap aktifitas kehidupan maka semua terbatasi oleh ruang gerak dari sifat ketidak jujuran itu juga dengan adanya system pengawasan yang selalu menghantui jika adanya sifat ketidak jujuran dalam diri kita. Untuk membangun negeri yang beradab dan bermartabat ini, dibutuhkan sistem yang memberi reward kepada setiap orang yang jujur dan manajemen transparansi yang mempersempit ruang kebohongan. Jika sistem ini berlangsung lama, maka kebohongan akan dipandang aneh oleh masyarakat.
Yang terkahir adalah untuk membangun budaya jujur dan membatasi ruang gerak kebohongan memang tidak mudah, dibutuhkan semacam sinergitas dan kolaborasi antara sistem pendidikan, penegakan hukum, akuntabilitas dan transparansi publik, serta keimanan sebagai sebuah suri teladan bagi pemimpin bangsa untuk selalu bekerja semata-mata hanya karena Allah SWT. Dengan begitu, permasalahan apapun yang tengah kita hadapi tetaplah berpijak pada pesan “Katakanlah sejujurnya walaupun itu pahit”.
Nice :)
BalasHapushuy join sm blog akuh ee :D
mantap artikelnya gan.
BalasHapusbisnis tiket pesawat menguntungkan www.kiostiket.com