Hei kawan, pernahkah menangis ?
ah, pasti pernah.
Ini kertas putih. Ini tulisan.
Ini pena dan itu, matamu. Baiklah, aku gores sedikit, sedikit saja. Tahukah aku
gores kemana ? ke atas, ke bawah, ke kiri, atau ke kanan, coba tebak. Tebaklah
karena kau peduli, sedikit saja, sesendok teh pun tak penuh tak mengapa. Tapi
benar tak ingin bertanya, goresan tadi ku gores kemana ? warna apa goresannya ?
tebal atau tipis ? nanti penasaran, malah aku yang dikejar untuk digores,
kertas ku bukan yang lain. Jujur, aku berkawan akrab dengan goresan, sering hinggap
di tangan kananku malahan...
Hei, aku minta selembar lagi
boleh ? iya kertasnya. Tenang, bukan buat ku gores. Sekarang aku punya dua
kertas dan satu pena. Tunggu dulu, aku salah. Ada dua pena ternyata. Pena yang
tak begitu runcing, sayang ia bukan pensil yang bisa diraut semaunya. Kertasnya
cemburu, tebak kertas mana, kertas yang ku gores tadi atau kertas yang baru ku
minta ? aku berikan satu pena ku kalau berhasil menjawab, aku kan punya dua...
Baiklah, aku menarik garis hitam
kebawah, ku gores tipis. Aku lupa itu pena, bukan pensil yang bisa langsung
dihapus walau berbekas. Ku teruskan lalu berhenti. Ku gores ke kanan, tenang
hanya setengah garis dari yang pertama. Aku letakkan penaku, masih tak ada yang istimewa. Hei, bertanyalah
aku menggores diatas apa ? ayolah. Kertas ! . Bukan itu, dibawah kertasnya...
Tunggu sebentar, aku bagi tiga
kertas kedua yang ku minta tadi. Kenapa tiga ? aduh, aku memang banyak tanya.
Ayo pilih, kertas yang mana yang mau kau gores duluan, tenang, warnanya putih
semua, tak ada warna kesukaanmu. Kenapa bahas kertas, bukan tadi bertanya,
pernahkah kau menangis ? susah, kertasnya keras tak selembut tisue, nanti sakit
mataku. Aku ambil kertas yang tak rata, aku menyobeknya terlalu kuat. Ku putar
sedikit, ku putar lagi. Ini kertas nakal, berputar terus. Aku borgol, ku gores
melingkar, tenang borgolnya selembut donat...
Tintanya habis, untung belum ku
berikan tadi.Yah patah, bukan pena, tapi kertas nya. Aku kecewa, kenapa lagi
tak bisa menulis dengan pena itu. Tinggal dua kertaskan tadi, iya dua. Aku
pejamkan mata, padahal aku tahu, yang kanan yang aku ambil. Ku gulung kecil, ah
kenapa sama dengan bentuk pena, kau meniru ya kertas. Ah sudahlah, jangan
bertengkar. Ku patahkan gulungan kertas tadi, ia berdamai. Jangan jadi boomerang
buat pena ya kertas, kau masih tetap kertas tak bisa berbalik seperti
boomerang, hanya bentukmu...
Hei, ayolah... pernahkah kau
menangis ? kertasku tinggal satu. Oke..oke.. aku tulis tiga, cepat ku gores.
Kenapa tiga ? kan masih banyak angka. Aku maunya tiga, apa kau ingin aku
menangis biar aku bisa bilang ‘pernah’, jangan kejam, pena ku tinggal satu. Aku putar kertas 'tiga ku' setengah saja. Angin menjauhlah sejenak, aku lagi malas. Kenapa tak menangis malah kau
tersenyum ? sudah..sudah.. mau kau
apakan empat kertas itu.. tak tersusun pun pena mu masih bahagia, walau tinggal
satu. Sudah, aku diam saja, dari pada
kau bertanya lagi, pernahkah kau menangis ?
Tapi, hei... sekali lagi, tak
penasaran siapa yang memberiku kertas tadi ? iya kertas kedua yang ku minta..
rangkailah, itulah dia...